Israel Negara Rasis
ini dari Antara News "Jakarta (ANTARA News)
– “Tak peduli dia Yahudi, Muslim atau Kristen, seorang warga negara
mesti menunjukkan kesetiaannya kepada negara. Jika tidak, dia bukanlah
warga negara,” kata David Rotem, mantan Wakil Ketua DPR Israel (Knesset) dan orang kepercayaan Avigdor Lieberman, Ketua Partai Yisrael Beitenu (Israel Tanah Air Kita)".
Pernyataan ini menyentil orang-orang seperti Rabbi Meyer Hirsh yang berani menemui Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad dan para anggota parlemen dari puak Arab yang memprotes pembumihangusan Gaza beberapa waktu lalu.
Partai
ultra Yahudi ini menghendaki semua warga negara Israel harus
mengucapkan sumpah setia kepada panji-panji Yudaisme, menyanyikan lagu
kebangsaan Yahudi, dan mengikuti wajib militer. Warga Yahudi ortodoks
dan Arab selama ini dikecualikan dari wajib militer.
“Orang-orang
Palestina menginginkan satu negara judenrein (istilah Nazi Jerman
untuk negara khusus Yahudi), dan Israel adalah negara 100 persen
Yahudi, bangsa lain sama sekali tidak boleh memasukinya,” kata Rotem.
Ironisnya,
tiga partai politik Arab di Knesset memiliki pandangan serupa mengenai
hal itu, namun dengan nuansa berbeda. Salah satunya Hanin Zoabi,
perempuan Arab pertama yang menjadi anggota Knesset mewakili Majelis
Demokrasi Nasional (Balad) yang pemimpinnya Azmi Bishara dituduh
mengkhianati Israel.
Hanin
melihat pendirian politik Lieberman sebagai pintu masuk Arab untuk
mendapatkan sesuatu dengan menukarkan sesuatu (quid pro quo).
“Saya
(Israel) mundur dari wilayah pendudukan namun saya harus mendapatkan
kesetiaan kalian (Palestina). Balasannya, warga Palestina Israel harus
diingatkan bahwa mereka tinggal di negara Yahudi yang mesti menerima
konsekuensinya,” kata Hanin mengandaikan dia Lieberman.
Sementara,
di kantornya di Nazareth, pengacara Tawfiq Abu Ahmed dari Gerakan Arab
untuk Pembaruan, menyebut pendirian anti Arab dari warga Yahudi malah
menaikkan popularitas gerakan Arab.
Lain halnya
dengan Hanna Swaid, Walikota Eilaboun di Provinsi Galilee yang juga
anggota partai komunis Arab Hadash. Dia menyebut prakarsa Yisrael
Beiteinu hanya akan memperkuat diskriminasi terhadap Arab dan
memprovokasi perpecahan.
“Era Lieberman telah ditandai oleh bentrokan-bentrokan, terutama di kota-kota yang populasi penduduknya berimbang,” kata Hanna.
Pandangan
ini diamini oleh Hassan Jabareen, Direktur Adalah (semacam LBH untuk
hak-hak kaum minoritas Israel) yang menyatakan Israel merasa dihianati
dari dalam sehingga terus memprovokasi Arab Israel.
Orang Israel
menilai warga Arab telah menggagalkan manuver-manuver Israel seperti
memerangi Hizbullah pada 2006 dan Gaza beberapa bulan lalu.
“Tak ada
seorang pun yang percaya lagi pada (solusi) dua negara. Konflik pecah
di semua front seperti terjadi pada 1948,” kata Jabareen.
Diusir
Agitasi dan
celaan menyebar lebih dahsyat dibanding masa-masa sebelumnya. “Mereka
(warga Arab Israel) bekerja dari dalam, untuk menghancurkan Negara
Israel,” tuduh Lieberman.
Sementara mantan anggota Partai Likud, Moshe Feiglin dengan kasar berkata, “Anda tak bisa mengajari monyet berbicara dan anda tak bisa mengajari orang Arab soal demokrasi.”
Nada-nada
permusuhan ini berusaha diredam oleh sejumlah tokoh moderat,
diantaranya Presiden Shimon Peres yang menyatakan orang Arab,
sebagaimana warga negara Israel lainnya, memiliki hak dan kewajiban yang
sama.
Sayang, kerusakan sudah demikian parah dan kebencian terhadap Arab sudah akut.
Berdasarkan
jajak pendapat tahun 2006 dan 2007, 78% orang Yahudi menentang parpol
Arab, 75% tidak mau hidup satu gedung dengan orang Arab, 75% percaya
orang Arab suka dengan kekerasan, 68% takut meledaknya intifada baru,
64% khawatir bertambahnya penduduk Arab, dan 56% percaya orang Arab tak
akan bisa mencapai tingkat kebudayaan seperti dicapai bangsa Yahudi.
Oleh karena
itu, 55% orang Yahudi Israel meminta orang Arab diusir, 50% mendukung
pengalihan warga Arab ke wilayah non Yahudi dan 42% menyebut Arab tak
berhak ikut Pemilu.
Keinginan ini tersalurkan oleh berkuasanya tokoh-tokoh garis keras, terutama Avigdor Lieberman dengan Yisrael Beitenu-nya.
Namun,
mengutip Ahmed Oudeh, tukang roti, di Acre, yang paling menakutkan Arab
adalah munculnya Lieberman-Lieberman muda yang menciptakan iklim teror
di wilayah Israel yang penduduknya banyak orang Arab.
Oktober
tahun lalu, di Acre yang berpenduduk 53 ribu dengan 17 ribu diantaranya
Arab, ribuan perusuh Yahudi menghancurkan 30 rumah, 84 toko dan 100
kendaraan.
Secara
perlahan atau terang-terangan, Israel terus mengintimidasi dan memaksa
warga Arab untuk keluar dari Israel, termasuk dengan mengundang warga
Yahudi seluruh dunia menetap di Israel.
“Mereka
memanfaatkan (kedatangan) orang Yahudi oriental (Asia), dan kini dari
Rusia yang ultra relijius,” kata arsitek Buthaina Dabit.
Diperangi
Di beberapa
kota Israel lain seperti Jaffa, Israel mengusir warga Arab dengan
menaikkan harga sewa apartemen sampai penyewa tidak mampu lagi membayar
dan hengkang dari apartemen.
“Beberapa
orang menyebut ini dilebih-lebihkan, namun faktanya memang seperti itu.
Legitimasi hukum kami ditohok, gangguan dengan kekerasan berulangkali
terjadi, kota-kota kami terancam Yahudisasi. Penghancuran Palestina di
Gaza terjadi juga pada kami,” kata Aida Touma-Sliman, Direktur
Perempuan Anti Kekerasan.
Bahkan di
Nazareth yang berpenduduk mayoritas Arab dan relatif damai, ancaman
ultra kanan pimpinan Avigdor Lieberman sangat mengusik kota itu.
“Pidato-pidato Lieberman layaknya sebuah seruan untuk memerangi kami,”
kata Touma-Sliman.
Akibatnya,
orang-orang Arab beralih dukungan dari semula memilih partai-partai
zionis menjadi mencoblos partai-partai Arab. Kini hanya 12 persen orang
Arab yang memilih partai-partai Yahudi, padahal tiga tahun lalu
angkanya mencapai 30 persen.
Israel pun
menjadi negara rasis yang dari hari ke hari semakin ingin membangun
Israel sebagai satu negara yang hanya diperuntukan bagi orang Yahudi,
sementara orang-orang Arab kian diasingkan dan dipreteli haknya.
Birokrat-birokrat
Arab seperti Wakil Walikota Acre, Adham Jamal, tak dilimpahi wewenang
apapun, sampai-sampai menyediakan perumahan layak untuk warga Arab pun
tak mampu dilakukannya.
Warga Arab
pun menjadi khawatir, apakah solusi konflik Palestina-Israel itu mesti
ditutup dengan solusi satu negara dua kebangsaan, atau dua negara
terpisah.
“Jika
sembilan dari tiap sepuluh orang Yahudi ingin negaranya sendiri, maka
hal sama terjadi pada dua dari setiap tiga orang Palestina di
wilayah-wilayah pendudukan. Dalam solusi dua negara, apa yang terjadi
pada wilayah-wilayah pendudukan? Siapa yang akan menjamin hak-hak
kami?” tanya Aida Touma-Sliman.
(*)
Disarikan dari “Hostage to Israel’s Far Right,” Joseph Agazy dan Dominique Vidal, dalam Le Monde Diplomatique edisi Mei 2009.
0 komentar
Posting Komentar